"Ibarat harapan seorang penggali sumur, jika galiannya belum mengeluarkan air, maka dia akan terus berusaha memperdalam galian sampai akhirnya mengeluarkan air. Begitupun kita dalam beribadah dan berdo`a. Jika kita belum merasakan nikmat atau manisnya beribadah dan doa belum dikabulkan, teruslah berusaha jangan pernah berputus asa, mungkin masih terhalang oleh dosa-dosa yang kita perbuat. Berkaitan dengan putus asa, Alloh berfirman : "..Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS. Yusuf : 87) Untuk itu, optimislah dalam berdoa dan beribadah, jauhilah rasa putus asa. Semoga Alloh SWT menjadikan kita hambanya yang kuat. Amin Wassalamualaikum !
Myspace tweaks at TweakYourPage.com

Album Anggota Keluarga

Hidup Ini Pilihan

Kamis, 30 Mei 2013

Moment Of Truth

 
 Lidya & Dinda @ KFC resto - China Town - Singapore
Di sebuah resto di San Francisco, ada seorang konsultan yang heran melihat keramaian Chinese Restaurant Lie Po. Dia mencoba makan disana pada sebuah siang yang ramai sekali.

Pelayan dengan ramah melayaninya dengan bahasa Inggris yang masih saja tidak fasih, sang konsultan memesan “Orange Chicken with rice”, dan meminta minuman “Coke Zero”.
Pelayan berkata: “Maaf, kami kontrak dengan Pepsi, dan tidak menjual produk Coca Cola. Apakah dapat kami tawarkan Diet Pepsi?” Sang konsultan menolak, dan meminta air putih saja.
...
Ketika dia sedang makan, tiba2 ada seorang berpakaian rapi membawa “Coke Zero” dan es batu, dan menaruh didepan pelanggan itu dan berkata sambil tersenyum “Tadi anda menginginkan Coke Zero kan? ” Lalu berlalu.

Sang konsultan meminum dengan puas dan memanggil pelayan yang tadi melayaninya. Pelayan datang dan tersenyum melihat Coke Zero ada disana.

Pelayan berkata: “ Nah sudah ada minuman kesukaan Bapak kan?”
Pelanggan: “ Tadi katanya tidak ada? Ini kok ada?”
Pelayan: “ Benar, baru saja kami belikan di pasar swalayan seberang.”
“Restoran lagi ramai, siapa yang membelikan?”
“Manager kami, dia tidak terlalu sibuk dibelakang.”
“Lho, katanya kontrak dengan Pepsi?”
“Ya, kalau menjual Coca-Cola tidak boleh, kalau memberi gratis kepada pelanggan, saya kira boleh.” Jawabnya sambil tersenyum.

* Memberi pelayanan yang baik adalah hal yang umum, dan dilakukan semua perusahaan, memberikan hal yang lebih, yang tidak terduga bisa, menjadi kunci sukses dijaman ini. Ciptakan “Moment of Truth”, yang memberikan impresi luar biasa, yang akan selalu diingat oleh pelanggan anda, sehingga dia akan setia pada perusahaan anda, dan merekomendasikan produk anda kepada orang lain.
Moment of Truth tidak hanya berlaku pada pelangan penjualan saja. Hal yang sama berlalu untuk sebuah kepemimpinan, Teamwork, ataupun dalam kehidupan sosial kita. Melakukan hal lebih yang menyentuh adalah kesempatan kita untuk diingat, dicinta, dihormati, dan diikuti oleh orang lain.
Salam sukses untuk anda.

Kisah seutas benang

 
Lidya , Dinda & Mama  antri  karcis  di  Universal Studio - Singapore

Awalnya, ia hanya seutas benang. Faktanya, bahkan ia jauh beribu-ribu lebih
halus dari benang yang kita tahu. Tipis, kecil, tak terlihat dan terabaikan.

Anehnya, setiap kita melakukan sesuatu yang sama, ia menebal. Melakukan
sekali lagi, iapun kembali menebal sekali lagi. Pengulangan menebalkan
sekaligus menguatkan benang yang tadinya hanya seutas itu.

Sehari, seminggu, sebulan, setahun..benang itupun semakin kuat. Setelah
kuat, benang itu segera menunjukkan kekuasaannya. Mereka (karena tidak lagi
sehelai) mengontrol kehidupan seseorang, tanpa disadari. Menguasai cara
berkata-kata, bertindak, bahkan setiap reaksi terhadap sesuatu.

Kekuasaan merekapun beragam, ada yang positif dan memuliakan, namun ada
pula yang negatif, mengungkung, memperbudak, menjerumuskan. Semuanya tergantung "penguatan" yang dilakukan tuannya. Di titik inilah
mereka bisa jadi "senjata pamungkas" atau "senjata makan tuan". Sekali
lagi, semua ditentukan oleh kita, tuannya.

Benang itu adalah : neuro (syaraf) kita. 

Jalinannya yang kuat membentuk "kebiasaan" kita. Akhirnya bermuara pada "karakter". 
Kita adalah Sang Tuan, yang lewat pengulangan sikap, cara berpikir, reaksi dan sensasi, menyebabkan mereka 'berkembak-biak'. Menebal, menguat kemudian menguasai.

Menjadi demikian "otomatis" namun jika disadari, proses menenunnya ternyata jauh dari otomatis.

Satu kata, satu tatapan, satu senyum ramah, satu kepedulian, satu
kebaikan, satu ketulusan, satu amarah, satu dusta, satu kelicikan...
SELALU berupa penguatan!

The beginning of a habit is like an invisible thread, but every time we
repeat the act we strengthen the strand, add to it another filament, until
it becomes a great cable and binds us irrevocably, thought and act” (Orison
Swett Marden)

Kamis, 16 Mei 2013

Garam Kehidupan

 Eyang / Wak  Nasir ( Acing )   bersama   Wak / Oom Iman

Pada suatu hari datang seorang anak muda yang tengah dirundung banyak masalah pada seorang kakek bijak. Langkahnya gontai dan air muka yang muram.

Kala menceritakan semua masalahnya, pak tua bijak hanya mendengarkannya dengan seksama. Setelah itu ia mengambil segenggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam tersebut kegelas air dan diaduknya perlahan. Pak tua meminta anak muda meminumnya : “Coba minum air ini dan katakan bagaimana rasanya…”

“Asin. Asin sekali!”, jawab anak muda itu sambil memuntahkan air asin dari gelas itu.

Pak tua hanya tersenyum. Ia lalu mengajak anak muda itu berjalan ke tepi telaga di hutan dekat tempat tinggalnya. Sesampainya di telaga, pak tua kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. 

Dengan sepotong kayu dibuatnya gelombang untuk mengaduk-aduk air telaga itu. “Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah.” Saat anak muda itu selesai mereguk air itu, pak tua bertanya kembali : “Sekarang bagaimana rasanya?”.

“Segar
”, sahut anak muda itu. “Apakah kamu merasakan garam dalam air telaga itu?” tanya pak tua lagi. Anak muda ini menjawab : “Tidak”.

Dengan bijak orang tua berkata : 

Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang banyaknya. Jumlah dan rasa asin itu adalah sama antara yang ada dalam gelas dan yang ditabur dalam telaga”.
“Kepahitan itu akan didasarkan dari tempat dimana kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semua itu. Luaskan hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu”.
 

Pak tua itu kembali memberikan nasehatnya.  
“Hatimu adalah wadahmu. Perasaanmu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu itu seperti gelas,  buatlah laksana telaga yang mampu menampung setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan”.