Eyang / Wak Nasir ( Acing ) bersama Wak / Oom Iman
Pada suatu hari datang
seorang anak muda yang tengah dirundung banyak
masalah pada seorang kakek bijak. Langkahnya gontai dan air muka yang
muram.
Kala menceritakan semua masalahnya, pak tua bijak hanya mendengarkannya dengan seksama. Setelah itu ia mengambil segenggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam tersebut kegelas air dan diaduknya perlahan. Pak tua meminta anak muda meminumnya : “Coba minum air ini dan katakan bagaimana rasanya…”
“Asin. Asin sekali!”, jawab anak muda itu sambil memuntahkan air asin dari gelas itu.
Pak tua hanya tersenyum. Ia lalu mengajak anak muda itu berjalan ke tepi telaga di hutan dekat tempat tinggalnya. Sesampainya di telaga, pak tua kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga.
Kala menceritakan semua masalahnya, pak tua bijak hanya mendengarkannya dengan seksama. Setelah itu ia mengambil segenggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam tersebut kegelas air dan diaduknya perlahan. Pak tua meminta anak muda meminumnya : “Coba minum air ini dan katakan bagaimana rasanya…”
“Asin. Asin sekali!”, jawab anak muda itu sambil memuntahkan air asin dari gelas itu.
Pak tua hanya tersenyum. Ia lalu mengajak anak muda itu berjalan ke tepi telaga di hutan dekat tempat tinggalnya. Sesampainya di telaga, pak tua kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga.
Dengan sepotong kayu dibuatnya gelombang untuk mengaduk-aduk air telaga itu. “Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah.” Saat anak muda itu selesai mereguk air itu, pak tua bertanya kembali : “Sekarang bagaimana rasanya?”.
“Segar”, sahut anak muda itu. “Apakah kamu merasakan garam dalam air telaga itu?” tanya pak tua lagi. Anak muda ini menjawab : “Tidak”.
Dengan bijak orang tua berkata :
“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang banyaknya. Jumlah dan rasa asin itu adalah sama antara yang ada dalam gelas dan yang ditabur dalam telaga”.
“Kepahitan itu akan didasarkan dari tempat dimana kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semua itu. Luaskan hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu”.
Pak tua itu kembali memberikan nasehatnya.
“Hatimu adalah wadahmu.
Perasaanmu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan
hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu menampung
setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar